Mahasiswi Manajemen , ya itulah status resmiku sekarang. Aku memilih jurusan ini awalnya memang karena tertarik pada kata “manajemen”. Menurutku akan sangat keren jika aku menyandang gelar mahasiswi manajemen. Dari situlah aku bertekat untuk melanjutkan kuliahku dan memilih manajemen sebagai jurusnku. Seleksi masuk perguruan tinggi ku ikuti dengan bermodal beasiswa untuk orang tidak mampu. Dan Alhamdulillah aku lolos. Disinilah aku mulai berpikir tentang jurusan ku ini. Mungkin benar karena aku bersal dari SMA kabupaten (pamekasan, Madura) aku terlalu polos untuk membayangkan seperti apakah kehidupan yang akan aku lalui menjadi mahasiswi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Aku tak pernah tahu bagaiamana belajar ilmu ini, bagaimana aku beradaptasi dari jurusan IPA dan berbelok ke ilmu social, bahkan bagaimana pergaulan disanapun aku tak tahu. Yang aku yakin , Allah tak akan menjerumuskan makhluknya yang berniat untuk mencari ilmuNya. Dan karena aku memilih jurusan ini dengan meminta izin pada Allah (istokharoh) serta pada kedua orang tuaku dengan yakin aku berangkat menuju kampus yang Allah takdirkan untukku (kota hujan).
Setelah berjalan satu semester disana aku tahu seperti apa jurusanku ini. Anehnya Fakultas yang katanya keren ini banyak mendapat sorotan dari fakultas fakultas lain di kampusku. Sorotannya bukan hal positif kami, tapi malah selentingan selentingan negative tentang kami yang mereka bicarakan. Mulai dari memplesatkan nama fakultas, sampai menjudge fakultas kami sebagai fakultas ter-seleb di kampus. FEM ( Fakultas Entertaiment and modeling), inilah yang aku tahu dari sekian julukan negative untuk fakultasku. Setiap julukan yang ada pastilah ada sebabnya, aku sendiri mengakui bagaimana pergaulan dan cara berpakaian teman satu fakultasku. Mereka yang banyak berasal dari jabodetabek, dan mereka yang banyak berasal dari keluarga yang mampu tidak heran jika kehidupan metropolis sangat identik dengan mereka. Dilihat dari cara berpakaian teman temanku sudah bisa dibandingkan dengan teman ku dari fakultas lainnya. FEM yang modis, FEM yang gaul. Yah mereka bangga dengan julukan tersebut, tidak dengan aku.
Aku yang Alhamdulillah menyadari fitrah, aku yang bersala dari kampung, dan aku yang kuliah bermodal beasiswa sangat sangat sulit berdaptasi dengan mereka. Sampai pada saat aku menginjak semester 3, aku mulai resah dengan adaptasi adaptasi yang terjadi dalam kelasku. Disana banyak sekali orang-orang modis yang sangat senang unjuk penampilan. Mulai dari mahisiswa non islam sampai yang satu agama denganku bercampur disana. Baju kuliah yang sengaja dimasukkan kedalam celana, kerudung ala hijaber yang melilit melilit di kepala menjadi kebanggaan disana. Mungkin memang agamaku menegaskan dalam al-Qur’an (al-kafirun : 6) namun yang membuat ku dilemma disana adalah minimnya teman yang sama denganku.
Terkadang rasa takut terbawa arus itu muncul, namun aku yakinkan diri ini untuk tidak banyak berinteraksi dengan mereka. Dari sekian banyak aturan aturan yang di buat kakak tingkat, akulah adik tingkat yang berani melanggar aturan itu. Mulai dari aturan bagaimana bergaul dengan lawan jenis yang tak perlu mempedulikan hijab, hingga cara berpakaian yang ku sebut sebagai ajang pemboyongan masuk neraka. aku memberanikan melanggar itu semua.
Dari sinilah aku berhusnuzdon pada Allah, mungkin dari sinilah aku bisa meraih ladang amal. Dari sinilah aku berkewajiban menuntut ilmu Allah dengan kekuatan iman agar tidak terseret pada gemerlap dunia, dan dari sinilah aku mengajak temanku untuk kembali pada fitrahmya. Perjuangan yang cukup keras, inilah yang kurasa selama aku berkumpul dengan teman-teman manajemenku. Dan berharap aku dan segelintir teman yang saat ini sudah menyadari fitrahnya makin memperkuat iman dan jangan sampai mengurangi jumlah yang positif dan menambah jumlah orang yang negative.
Setelah berjalan satu semester disana aku tahu seperti apa jurusanku ini. Anehnya Fakultas yang katanya keren ini banyak mendapat sorotan dari fakultas fakultas lain di kampusku. Sorotannya bukan hal positif kami, tapi malah selentingan selentingan negative tentang kami yang mereka bicarakan. Mulai dari memplesatkan nama fakultas, sampai menjudge fakultas kami sebagai fakultas ter-seleb di kampus. FEM ( Fakultas Entertaiment and modeling), inilah yang aku tahu dari sekian julukan negative untuk fakultasku. Setiap julukan yang ada pastilah ada sebabnya, aku sendiri mengakui bagaimana pergaulan dan cara berpakaian teman satu fakultasku. Mereka yang banyak berasal dari jabodetabek, dan mereka yang banyak berasal dari keluarga yang mampu tidak heran jika kehidupan metropolis sangat identik dengan mereka. Dilihat dari cara berpakaian teman temanku sudah bisa dibandingkan dengan teman ku dari fakultas lainnya. FEM yang modis, FEM yang gaul. Yah mereka bangga dengan julukan tersebut, tidak dengan aku.
Aku yang Alhamdulillah menyadari fitrah, aku yang bersala dari kampung, dan aku yang kuliah bermodal beasiswa sangat sangat sulit berdaptasi dengan mereka. Sampai pada saat aku menginjak semester 3, aku mulai resah dengan adaptasi adaptasi yang terjadi dalam kelasku. Disana banyak sekali orang-orang modis yang sangat senang unjuk penampilan. Mulai dari mahisiswa non islam sampai yang satu agama denganku bercampur disana. Baju kuliah yang sengaja dimasukkan kedalam celana, kerudung ala hijaber yang melilit melilit di kepala menjadi kebanggaan disana. Mungkin memang agamaku menegaskan dalam al-Qur’an (al-kafirun : 6) namun yang membuat ku dilemma disana adalah minimnya teman yang sama denganku.
Terkadang rasa takut terbawa arus itu muncul, namun aku yakinkan diri ini untuk tidak banyak berinteraksi dengan mereka. Dari sekian banyak aturan aturan yang di buat kakak tingkat, akulah adik tingkat yang berani melanggar aturan itu. Mulai dari aturan bagaimana bergaul dengan lawan jenis yang tak perlu mempedulikan hijab, hingga cara berpakaian yang ku sebut sebagai ajang pemboyongan masuk neraka. aku memberanikan melanggar itu semua.
Salah satu teman ku menegur sifat angkuh ku ini, dia menegaskan bahwa kita adik tingkat harus patuh dan kompak pada atasan. Dan memboyong pedoman bahwa aturan itu dibuat untuk di patuhi bukan untuk di langgar. Dengan santai aku menjawab teguran temanku, aturan di buat memang untuk di patuhi. Namun kita juga harus pinter memilah peraturan seperti apa itu, jika peraturan itu melanggar peraturan yang sudah ada untuk apa kita patuhi. Peraturan dari agamaku jelas tetap menjadi priotasku. Melihat pergaulan dalam jurusan ku membuatku berfikir, apakah satu kelas ini akan terseret pada neraka mu ya Allah?Pernah dalam suatu acara yang di buat kakak tingkat untuk kami, membuatku lebih yakin kalau acara ini memanglah tidak layak untuk ku hadiri. Karena disana kita di suruh memakai gaun pesta. Mungkin memang benar dalam simulasi yang beredar aturan gaunnya harus sopan dan di bawah lutut. Namun apa yang terjadi? Diruangan itu hampir semua yang datang berpakain ala artis holiwood. Memakai dres di atas lutut, dan dres menutupi litut namun pamer leher dan punggung. Sungguh pada malam itu ingin rasanya aku berteriak, TEMPAT APA INI? Dengan rasa tak berdosa mereka berlenggak lenggok pamer aurat dan bergandengan tangan dengan lawan jenis membuatku semakin panas dingin dan ingin cepat cepat keluar dari ruangan mistis itu. Mengingat aku sendiri yang merasakan hal itu jelaslah aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali istighfar yang tak henti ku ucapkan.
Dari sinilah aku berhusnuzdon pada Allah, mungkin dari sinilah aku bisa meraih ladang amal. Dari sinilah aku berkewajiban menuntut ilmu Allah dengan kekuatan iman agar tidak terseret pada gemerlap dunia, dan dari sinilah aku mengajak temanku untuk kembali pada fitrahmya. Perjuangan yang cukup keras, inilah yang kurasa selama aku berkumpul dengan teman-teman manajemenku. Dan berharap aku dan segelintir teman yang saat ini sudah menyadari fitrahnya makin memperkuat iman dan jangan sampai mengurangi jumlah yang positif dan menambah jumlah orang yang negative.
“Yaamuqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaadiinik. (wahai dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agamaMu”(HR.AT-TIRMIDZI DAN AHMAD )